Jumat, 01 Februari 2013

KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai RasullNya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah kurang lebih selama 23 tahun. Sebagai agama wahyu, seperti telah disebutkan berulang-ulang, komponen agama Islam adalah akidah, syari’ah, dan akhlaq yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Selain komponen utama agama islam, di dalam Al-Qur’an perkataan ilmu ( pengetahuan tentang sesuatu ) dalam berbagai bentuk disebut sebanyak 854 kali. Karena banyak dan seringnya perkataan itu disebut dalam berbagai hubungan atau konteks, dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan ilmu sangat penting dan sentra dalam agama Islam. Perkataan ‘ilm dilihat dari sudut kebahasaan bermakna penjelasan. Menurut Al-Qur’an, ilmu adalah suatu keistimewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain. Ini tercermin, seperti dalam kisah nabi Adam waktu ditanya oleh Allah tentang nama-nama benda. Adam dapat menjawab semua nama benda yang Allah tanyakan kepadanya. Dalam surat Al-Baqarah (2):38 , Allah berfirman sambil memerintahkan:“Hai Adam, beritahukan kepada mereka ( Iblis ) nama-nama benda".

BAB II
RINGKASAN MATERI

A. KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM
Jika kita berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, yang dimaksud adalah tempat akal dan wahyu dalam system agama Islam. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam Islam. Kata akal berasal dari bahasa arab al-‘aql. Artinya pikiran atau intelek ( daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan ).
Kata akal dalam bahasa arab mengandung beberapa arti. Akal dapat diartikan dengan mengerti, memahami, dan berpikir. Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya ( kekuatan, tenaga ) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan ( menjadikan tidak terwujud ) benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.
Kita tidak dapat pernah memahami islam tanpa mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa terikat dan dengan sukarela mengingatkan diri kepada Allah. Dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berbuat, memahami dan mewujudkan sesuatu. Dengan demikian , dapatlah difahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan: akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian. Namun bagaimanapun kedudukan kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam, akal tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan. Wahyu yang akan membetulkan akal atau pemikiran manusia yang nyata-nyata salah karena adanya berbagai pengaruh. Wahyu lebih dikenal dalam arti ”apa yang disampaikan Allah kepada para nabi”. Dengan demikian sabda Allah kepada orang pilihaNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman hidup. Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad tersimpan dengan baik dalam Al-Qur’an. Wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan kedudukan akal dan wahyu dalam ajaran Islam. Keduanya, akal dan wahyu merupakan saka guru dalam ajaran Islam. Dalam sistem ajaran Islam , wahyulah yang pertama dan utama, sedang akal adalah yang kedua. Al –Qur’an maupun sunah Nabi memberikan tuntunan, arah dan bimbingan dalam akal manusia. Oleh karena itu, akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang ditetapkan Allah dalam wahyu-Nya itu.

B. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM ISLAM
Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan. Sejak al-Kindi di abad ke-3 H, generasi demi generasi sarjana muda sudah dapat mencurahkan pikiran dan kemampuannya untuk mengklasifikasikan ilmu dalam Islam secara terperinci. Sebagian klasifikasi ilmu itu asli dan berpengaruh, tetapi sebagian lagi hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudian dilupakan orang. Pada massa Al-Farabi, Al-Gazali, Qutubuddin telah berhasil mengklasifikasikan ilmu Islam menjadi beberapa bagian. Ketiga tokoh tersebut adalah orang- orang pendiri terkemuka aliran intelektual dan mereka tumbuh dan berkembang dalam periode-periode penting sejarah Islam. Adapun mereka telah mengklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yakni :
1. Menurut Al-Farabi, perincian klasifikasinya yakni sebagai berikut :
a. Ilmu bahasa
b. Ilmu logika
c. Ilmu-ilmu matematis
d. Metafisika
e. Ilmu politik, ilmu Fikih dan Ilmu Kalam
Karakteristik klasifikasi Ilmu Al-Farabi adalah sebagai berikut:
1) Para pengkaji dapat memilih subyek-subyek yang benar-benar membawa manfaat bagi dirinya.
2) Memungkinkan seseorang belajar tentang hierarki ( urutan tingkat ) ilmu.
3) Memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan secara benar.
4) Memberikan informasi kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang dapat mengklaim diri ahli dalam suatu ilmu tertentu.
2. Al-Gazali mengklasifasikan ilmunya menjadi 4 yakni:
1) Ilmu-ilmu teoritis dan praktis
 Ilmu teoritis adalah ilmu yang menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui sebagaimana adanya.
 Ilmu praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia untuk memperoleh kesejahteraan di Dunia dan di Akhirat.
2) Ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai
 Ilmu yang dihadirkan adalah bersifat langsung, serta merta, suprarasional ( diatas atau diluar jangkauan akal ), intuitif ( berdasar bisikan hati ), dan kontemplatif ( bersifat renungan ). Dia biasa menyebut dengan ilmu ladunni
 Ilmu yang dicapai adalah ilmu yang dicapai oleh akal pikiran manusia ( ilmu insani ).
3) Ilmu keagamaan dan ilmu intelektual
 Ilmu keagamaan adalah ilmu-ilmu yang diperoleh dari para nabi, tidak hadir dari akal pikiran manusia biasa.
 Ilmu intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperolek melalui kemampuan intelek ( daya atau kecerdasan berpikir ).
4) Ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah
 Fardu kifayah merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah.
 Fardu kifayah lebih kepada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang bersifat mengikat komunitas ( kelompok orang ) muslim dan muslimat menjadi satu kesatuan.



3. Qutubuddin al-Syirazi menyajikan klasifikasi ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu – ilmu Filosofis ( kefilsafatan )
2) Ilmu-ilmu nonfilosofis,yakni: ilmu-ilmu religius atau termasuk dalam ajaran wahyu. Ilmu-ilmu religius dapat dibagi menjadi 2 :
a) Ilmu-ilmu naqli( keagamaan ) dan ilmu-ilmi intelektual ( aqli )
b) Klasifikasi ilmu mtentang pokok-pokok ( usul ) dan ilmu tentang cabang-cabang ( furu’)
Klasifikasi dari ke-3 tokoh tersebut terhadap ilmu pengetahuan, berpengaruh sampai kini. Di tanah air kita sering mendsengar klasifikasi ilmu dengan : ilmu agama dan ilmu umum.
Menurut Al-Qur’an ilmu dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Ilmu ladunni, yakni ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia.
2. Ilmu insani, yakni ilmu yang diperoleh karena usaha manusia.
Pembagian ilmu kedalam 2 golongan ini dilakukan karena menurut Al-Qur’an ada hal-hal yang ada tetapi tidak diketahui manusia, ada pula yang wujud yang tidak tampak. Ditegaskan dalam Al-Quran antara lain dalam firmanNya pada surat Al-Haqqah ayat 38-39 yang artinya:
“ maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan yang tidak kamu lihat.” Dari kalimat terakhir jelas bahwa obyek Ilmu ada 2 yakni : materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada yang wujud yang jangankan dilihat diketahui manusia saja tidak.
Dari kutipan-kutipan ayat-ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia hanyalah sedikit, dan telah diregaskan oleh Allah dalam firmanNya:“ kamu tidak diberi ilmu ( pengetahuan ) kecuali sedikit.”( Q.S 17 : 85 ). Walaupun sedikit namun manusia harus memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Nabi Muhammad sebagai Rasullah diperintahkan selalu berusaha dan berdo’a agar pengetahuannya bertambah. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebagaimana telah dikemukan Rasulullah dalam sebuah hadistnya :
“ Ada 2 keinginan yang tidak pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan mencari harta”.
Yang perlu diusahakan adalah mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan hidup, bukan untuk merusak dan membahayakan umat manusia. Pengarahnya adalah agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Disinilah letak hubungan antara agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) yang bersumber dari akal dan penalaran manusia.
C. KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Al-Gazali menyebut dalam klasifikasinya, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah. Ilmu fardu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagai satu kesatuan, tidak mengikat setiap anggota komunitas.
Kalau klasifikasi Al-Gazali tersebut diatas dihubungkan dengan ilmu, maka menuntut ilmu merupakan kewajiban semua umat manusia tidak memandang umur, jenis kelamin ataupun derajatnya. Sesuai dengan keadaan, bakat, dan kemampuan. Bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun di dalam al-Hadist.
Salah satu sifat Allah yang disebut dalam Al-Qur’an adalah ‘Alim yang berarti yang memiliki pengetahuan. Oleh karena itu pula memiliki pengetahuan merupakan sifat Ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman. Dan apabila orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam diri mereka sendiri seperti dikatakan dalam sebuah hadist maka setiap orang berkewajiban untuk beriman kepada Allah yang menjadi sumber segala sesuatu, meneladani sifat-sifatNya dan pengetahuan, sehingga wawasan tentang Allah akan mendarah daging bagi umat manusia. Namun tidak semua sifat Allah dapat kita teladani karena keterbatasan kita menjadi umat yang telah diciptakanNya.



Pentingnya kita mempelajari dan memahami ilmu, yaitu :
1) Perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yan g tidak berilmu.
2) Hanya orang –orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran ( Q.S 39 : 9 )
3) Hanya orang yang berilmu yang mempu memahami hakikat sesuatu yang disampaikan Allah melalui perumpamaan-perumpamaan ( Q.S 29 : 43 )
4) Allah memerintahkan agar manusia berdo’a agar ilmunya bertambah.
5) Orang yang mencari ilmu berjalan dijalan Allah, telah melakukan ibadah.
Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta kewajiban mencari dan menuntut ilmu seperti disebutkan diatas, telah menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau menjadi pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan. Di masa yang akan datang kejayaan yang telah ada itu, Insyaallah akan datang kembali kalau pemeluk agama Islam menyadari makna firman allah : “kalian adalah umat terbaik yang yang dilahirkan untuk manusia, mempelajari dan mengamalkan agama Islam secara menyeluruh.
Manfaat mempelajari ilmu bagi kehidupan kita, yaitu :
1) Akan mendapatkan pahala secara terus menerus bagi yang mengajarkannya.
2) Ilmu memberikan kepada yang memiliki pengetahuan untuk membedakan apa yang terlarang dan yang tidak, menerangi jalan kesurga, kawan diwaktu sepi dan teman ketika kita kehilangan sahabat.
3) Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka, perhiasan dalam pergaulan, perisai terhadap musuh.
4) Hamba Allah mencapai kebaikan, memperolah kedudukan yang mulia, dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia, kebahagiaan akhirat.
Mencari ilmu sampai kenegeri cina, peribahasa diatas mengandung arti bahwa ilmu yang dituntut yang dicari tidak hanya ilmu agama tetapi semua ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak. Seperti dalam sabda Nabi SAW : “ barang siapa yang menginginkan kebaikan di dunia hendaklah ia mencari ilmu, barang siapa yang menginginkan kebaikan di akhirat hendaklah ia mencari ilmu dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia mencari ilmu.” . Sebab kebaikan kehidupan dunia dan di akhirat hanya dapat dicapai dengan ilmu.

D. Ilmu adalah Pemimpin Amal
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan,
“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?”
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan. Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.”
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”
Keutamaan ilmu syar’i yang luar biasa
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini, yaitu :
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”

Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”
Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

BAB III
PENUTUP
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.”
Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.


Daftar Pustaka



Prof.H.Mohammad Daud Ali,S.H. Pendidikan Agama Islam, Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2000

www.muslim.or.id


MAKALAH METODE TELADAN SEBAGAI SALAH SATU METODE PENDIDIKAN DALAM AL QUR,AN

PENDAHULUAN


Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengajari ,manusia dengan pena ( qolam ) dan telah mengajari mereka segala sesuatu yang tidak mereka ketahui. Sholawat serta salam dan kemuliaan semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan Allah, Nabi Muhammad SAW dan juga kepada keluarga, para shahabatnya dan juga orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman. Amin.
Mendidik adalah tugas dan tanggung jawab orangtua dalam lingkup keluarga, guru dalam lingkup sekolah, serta ulama dan pemimpin di lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan manapun, dan situasi apapun, mendidik memerlukan cara dan metode yang dapat membantu peserta didik menyerap dan memahami materi pengajaran yang disampaikan pendidik. Selain itu, kesungguhan dan keikhlasan pendidik juga menjadi modal utama meraih keberhasilan tersebut, karena tanpa keduanya pendidikan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Rasullullah SAW adalah contoh hidup dan teladan yang baik dari apa yang beliau ajarkan kepada para shahabatnya. Tidak ada satu keutamaan yang dianjurkan kecuali beliau lakukan, bahkan mendahului yang lain dalam mengamalkannya.
Diantara metode-metode yagn ditempuh rasulullah SAW dalam proses pengajaran adalah metode teladan. Dalam konteks ini, beliau senantiasa melakukan sesuatu sebelum menyuruh orang lain ( muridnya ) melakukan sesuatu itu sebagai bentuk teladan, sehingga orang lainpun akan dapat mengikuti dan mencerna dengan mudah sebagaimana yang mereka saksikan dari beliau.
Dalam makalah ini, akan kami uraikan sedikit tentang salah satu metode pendidikan dalam Al Quran yaitu metode teladan.











PEMBAHASAN


A. NABI MUHAMMAD SAW SEBAGAI TELADAN
Rasulullah telah menjadi teladan yang baik kepada kita semua. Seperti yang telah Allah SWT firmankan :



“ Sungguh pada diri Rasulullah SAW terdapat tauladan yang baik bagi kalian, yakni bagi siapa saja yang mengharapkan ( perjumpaan dengan ) Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah”. ( QS Al Ahzab : 21 )

Dalam al-Qur’an, kata teladan diproyeksikan dengan kata usroh yang kemudian diberi kata sifat hasan. Kata usroh diulang dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali dengan mengambil contoh dari Nabi. Dalam surat al-Ahzab diatas, merupakan bukti adanya metode keteladanan dalam pengajaran. Muhammad Qutb misalnya, mengisyaratkan bahwa di dalam Nabi Muhammad adalah contoh yang baik dan ini merupakan suatu metodologi dalam pengajaran. Bahwa harus mancontoh Nabi baik segi akhlak dalam bermasyarakat maupun dalam beribadah kepada Allah.
Lebih lanjut, al-Qur’an menjelaskan Akhlak nabi Muhammad dalam bentuk tingkah laku. Misalnya dalam surat al Fath (48): 29 :
Yang artinya : Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka ( yang diungkapkan ) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka ( yang diungkapkan ) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.

Hal ini menandakan bahwa dalam dunia pendidikan seorang figur yang baik harus ada. Dalam hal ini tentunya seorang guru harus memiliki figur yang baik yang mana bisa di contoh oleh murid atau anak didiknya.
Dalam sirahnya, terdapat banyak bukti yang menunjukkan keteladanan Nabi, diantaranya :
a. Banyak berdzikir kepada Allah
b. Memperhatikan sholat lima waktu
c. Sangat dermawan
d. Bagus dalam bergaul dengan istri
e. Sangat memperhatikan masalah janji sekalipun dalam musuh
f. Itsar ( mendahulukan kepentingan orang lain )
g. Memaafkan orang-orang yang dzalim kepada beliau
h. Tawadhu’ ( Rendah hati )
i. Zuhud terhadap dunia
j. Memperhatikan dakwah kepada Allah
k. Ikut serta dalam membangun masjid
l. Ikut serta dalam menggali parit
m. Memulai berbuka ketika beliau menyuruh untuk berbuka
n. Mencabut cincin dari emas dan melarang shahabat untuk memakainya
o. Meminta kepada keluarganya untuk menjamu orang yang butuh, sebelum meminta hal itu kepada orang lain
p. Mengembalikan tawanan anak bani Hawazin sebelum menyuruh orang lain melakukan itu
q. Membawa cucunya di pundaknya ketika shalat
Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. salat sambil membawa Umâmah binti Zainab binti Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. dari (pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, beliau menaruhnya dan bila berdiri beliau menggendongnya. ( HR. Bukhari )

Adapun manfaat dari bentuk metode teladan yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW kiranya tidak dapat disangsikanlagi bahwa metode ini dangat kuat bersemayam di dalam hati dan memudahkan pemahaman serta ingatan. Disamping itu, metode tersebut juga sangat efektif dan efisien dalam membantu upaya (seorang guru) mengajar dan mendidik ( para siswa ) daripada model pengajaran melalui ceramah-ceramah dan uraian kata-kata. Metode pengajaran semacam itu merupakan metode yang sangat sesuai (cocok) dengan fithrah pengajaran itu sendiri.
B. KISAH KETELADANAN DALAM AL QUR’AN
1. QS Al-Kahfi ayat 9 – 26
Salah satu teladan lainnya yang diperkenalkan oleh Al-Quran adalah kelompok Ashabul-Kahfi. Al-Quran mengisahkan perjalanan hijrah sekelompok pemuda demi mempertahankan kebenaran yang mereka raih. Allah swt menyebut mereka sebagai teladan yang mulia. Para pemuda Ashabul Kahfi mulanya adalah anak-anak muda yang terbiasa hidup dalam kenikmatan dan kemewahan. Namun demi mempertahankan akidah dan keyakinannya serta menentang penguasa yang zalim di masanya, mereka rela meninggalkan seluruh kenikmatan itu dan menyembunyikan diri di sebuah gua. Hal ini merupakan bukti dari keteguhan dan pengorbanan mereka dalam berjuang di jalan Ilahi.
Allah swt dalam surat Al-Kahfi ayat 13 berfirman,
"Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka."

Ashabul Kahfi adalah para pemuda teladan. Meski mereka tergolong masih mudah dan diliputi dengan semangat anak muda yang menyukai kesenangan, namun mereka tetap teguh berjuang mempertahankan akidah tauhidnya dan menentang kesyirikan. Sehingga Allah swt pun memberikan mereka hidayah. Karena itulah mereka adalah para pemuda yang dilayak dijadikan sebagai teladan sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quran.
2. QS Al-Kahfi ayat 66



"Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?"

Nabi Musa as berguru kepada Nabi Khidhir untuk memperoleh hikmah dan makrifah. Nabi Musa as dengan melontarkan pertanyaan itu menunjukkan bahwa perubahan dan revolusi diri tidak terbatas pada masa tertentu. Manusia di setiap usia dan peringkat keilmuan manapun senantiasa memerlukan seorang pembimbing yang bisa menjadi pelita dan penuntun jalan. Al-Quranul Karim memperkenalkan karakter utama para manusia-manusia teladan dengan menceritakan kehidupan pribadi mereka. Al-Quran mengajarkan manusia untuk menjadikan perilaku dan pemikiran manusia-manusia agung itu sebagai landasan hidupnya. Dengan cara itu, mereka diharapkan bisa mengubah nasib diri dan masyarakatnya.
Memilih teladan dan contoh yang tepat dalam kehidupan pribadi dan sosial merupakan perkara yang menentukan. Bahkan, sebagian para nabi menganggap bahwa mereka pun memerlukan teladan yang sempurna. Mereka merujuk kepada manusia-manusia yang mereka anggap layak dijadikan sebagai teladan untuk menempuh jalan kesempurnaannya.
3. QS At-Tahrim ayat 11



"Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman isteri Fir'aun, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim."

Al-Quran menyontohkan Siti Asiah, istri Firaun sebagai teladan utama bagi orang-orang beriman. Siti Asiah adalah perempuan mulia dan ahli iman. Meski ia hidup di tengah situasi yang sangat kelam, namun ia tidak terpengaruh oleh kehinaan pemerintahan Firaun yang zalim. Dengan selalu bertawakkal kepada Allah, ia berupaya menjauhkan diri dari noda-noda hitam lingkungan di sekitarnya dan memilih jalan yang benar.

4. QS Yusuf ayat 33




"Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh."

Nabi Yusuf as merupakan salah satu manusia yang diperkenalkan Al-Quran sebagai model pendidikan. Perjalanan hidup Nabi Yusuf pun disebut Al-Quran sebagai kisah terbaik. Al-Quran menyebut beliau sebagai pahlawan perjuangan yang berhasil melawan godaan hawa nafsunya. Menurut Islam, jihad yang paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu. Nabi Yusuf adalah seorang pemuda yang paling tampan. Suatu hari ia mendapat godaan dari Zulaikha, istri penguasa negeri Mesir di masa itu. Namun dengan berbekal tawakkal kepada Allah, beliau menampik godaan itu dan berhasil menundukkan hasrat hawa nafsunya. Nabi Yusuf bahkan rela dipenjara dan menerima hukuman apapun demi mempertahankan katakwaannya dan memerangi hawa nafsu.

5. QS An Naml ayat 19







Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “ Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmad-Mu de dalam golongan hamba-hamba-Mu yang sholih.”

Ayat di atas mengisahkan tentang perilaku Nabi Sulaiman yang senantiasa memohon kepada Allah SWT agar selalu bersyukur atas karunia Allah SWT yang telah diberikan kepadanya.

6. QS As Shoffat ayat 102








Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, : “ Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.

Ayat di atas memberikan teladan kita untuk ikhlas dan sabar terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Allah.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik, kalau pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jika guru berperangai buruk, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai buruk.Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata.
Aplikasi metode teladan, diantaranya adalah, tidak menjelek-jelekkan seseorang, menghormati orang lain, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, berpakaian yang sopan, tidak berbohong, tidak berjanji mungkir, membersihkan lingkungan, dan lain-lain Bagaimana beribadah Allah SWT, bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat, sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung. ;yang paling penting orang yang diteladani, harus berusaha berprestasi dalam bidang tugasnya.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran secara utuh.
Metode pendidikan islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan teladan adalah guru, kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para da’i. Teladan untuk bagi semua ummat ialah Rasulullah. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasulullah SAW. Sebab, Rasul itulah teladan yang terbaik.












DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Fadhl Ilahi, Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat, ( Surabaya, Pustaka elba: 2006), hlm. 141-142.

‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, 40 Metode Pendidikan dan Pengajaran Rasulullah SAW, (Bandung, Irsyad Baitussalam:2009), hlm. 80.

http://quran.al-shia.org

http://apri76.wordpress.com

http://mifzawal.blogspot.com

http://muslimuny.ilmoe.com

http://www.mukhlisfahruddin.web.id

KEUTAMAAN ILMU

“…Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?..”
(Az Zumar [39]: 9)
Islam sangat menghargai ilmu dan ulama (ilmuwan), sehingga kedudukan ilmu dan ulama sangat tinggi dan mulia dalam parameter Islam. Allah SWT telah berfirman: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Al Mujaadilah [58]: 11).
Rasulullah SAW juga telah mengisyaratkan: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, niscaya ia akan diberi pengertian atau pemAahaman mengenai agama” (HR. Bukhary dan Muslim). Bahkan kedudukan seorang alim (orang yang berilmu) lebih tinggi dibandingkan kedudukan seorang ‘abid (orang yang beribadah). “Kelebihan seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti kelebihanku terhadap orang yang terendah di antara kamu” (HR. At Tirmidzi).
Berkata Umar RA: “Wahai manusia! Kalian wajib menuntut ilmu. Sesungguhnya Allah memiliki selendang kemuliaan. Barangsiapa mencari satu bab ilmu saja, niscaya Allah akan membalutnya dengan selendang kebesaran-Nya”.
Mu’adz bin Jabal berkata: “Belajarlah olehmu ilmu pengetahuan! Sebab, mempelajarinya karena takut kepada Allah merupakan ibadah, mempelajarinya berarti tasbih, membahasnya jihad, mengajarkannya shadaqah dan mencurahkannya kepada ahlinya merupakan qurban. Ilmu adalah teman dalam kesendirian, dalil agama dan penolong dalam suka dan duka. Ia shahabat karib di kala sepi, teman yang paling baik dan paling dekat serta ia merupakan cahaya jalan menuju surga. Dengannya Allah mengangkat martabat ummat, lalu dijadikan-Nya mereka pemimpin dalam hal kebaikan”.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Karena kedudukan ilmu yang sedemikian tingginya, maka Islam mewajibkan ummatnya untuk mempelajari ilmu, sehingga diharapkan mereka bekerja berdasarkan ilmunya, bukan sekedar mengikuti seseorang tanpa tujuan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”(Al Israa’ [17]: 36).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam sangat memusuhi sikap-sikap taqlid, yaitu sikap mengikuti sesuatu tanpa didasarkan pada ilmu, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan. Mereka inilah yang disebut dengan pengikut fanatik atau pengikut buta. Berkata Al Aufi tentang maksud dari ayat ini: “Janganlah engkau menuduh seseorang tentang sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan dalam hal itu”.
Sedangkan Qatadah berkata:”Janganlah engkau berkata, “Aku telah melihat padahal engkau tidak melihat, aku telah mendengar padahal engkau tidak mendengar, aku telah mengetahui padahal engkau tidak mengetahui”. Sementara Allah akan meminta pertanggungjawaban kamu tentang hal itu”.
Maka segala sesuatu yang hendak kita kerjakan, semuanya dilandaskan kepada ilmu. Bahkan memahami syahadat pun, harus dilandasi dengan ilmu.
“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah…” (Muhammad [47]: 19).
Rasulullah SAW menegaskan kembali tentang wajibnya menuntut ilmu bagi setiap Muslimin dan Muslimat. Sabdanya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslimin dan muslimah”
Kedudukan Ilmu
Fardhu ‘Ain
Ada ilmu-ilmu dalam syari’at Islam yang berkedudukan fardhu ‘ain,yaitu wajib bagi setiap Muslimin dan Muslimat untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu yang wajib untuk dipelajari oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah ilmu-ilmu yang lazim dipergunakan untuk kepentingan diennya atau untuk dunianya.
Imam Abu Muhammad bin Hazm berkata,”Seorang Muslim dan Muslimah harus mempelajari bagimana bersuci, shalat, puasa, halal-haram mengenai makanan dan minuman, pakaian, seks, perkataan dan per- buatan. Semua ini harus dipelajari oleh setiap Muslimin dan Muslimat baik yang merdeka maupun hamba sahaya supaya mereka dapat mempraktekannya ketika sudah baligh. Ia juga harus mempelajari Bahasa Arab untuk memperbagus bacaan Al Qu’an, Hadits,bacaan-bacaan shalat, takbir, tasbih dan lain sebagaianya”. Imam Ghazali mengatakan,”Ilmu dan tujuannya terbagi menjadi dua: syar’i dan non syar’i.
Syari’ah adalah sesuatu yang diambil dari Nabi-Nabi dan akal tidak dapat menunjukkannya, tidak pula pengalaman seperti kedokteran, bahasa dan sejenisnya”.
Sehingga ilmu yang wajib diilmui oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah:
Ilmu untuk mengetahui aqidahnya dengan pengetahuan yang meyakinkan dan shahih, bebas dari segala bentuk syirik dan khurafat.
Ilmu untuk memperbaiki ibadahnya kepada Allah SWT secara dhahir, agar ibadah itu sesuai dengan bentuk yang disyari’atkan. Secara bathiniah dimaksudkan supaya ibadahnya sarat dengan nilai keikhlasan.
Ilmu untuk dapat membersihkan dirinya dan mensucikan hatinya dan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan “yang menyelamatkan” sekaligus mengamalkannya. Juga ilmu untuk mengetahui kerikil- kerikil “yang membahayakan” sekaligus menjauhinya.
Ilmu untuk memperbaiki perilaku dalam berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarganya dan sesamanya. Terhadap pemerintah dan rakyat, terhadap sesama Muslim dan non Muslim. Dengan itu, ia mengetahui yang halal dan haram, yang wajib dan sunnah, yang layak dan yang tidak layak. Kewajiban mempelajari ilmu-ilmu ini merupakan batas minimal pengetahuan bagi seorang Muslim terhadap dien-nya di setiap lingkungan dan setiap keadaan. Imam Abu Muhammad bin Hazm berkata,”Jika mereka tidak mendapatkan ilmu ini di negaranya, maka dianjurkan untuk mencarinya ke luar, walaupun ke tempat yang paling jauh”. Setelah mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu itu, jika mungkin, seorang Muslim wajib juga menambah pengetahuan-pengetahuan khusus yang berkaitan dengan kondisinya atau disiplin ilmunya. Orang yang fakir, misalnya, ia tidak diwajibkan mempelajari hukum-hukum zakat secara detail, kecuali sekedar mempelajari zakat yang boleh diambilnya. Seorang pedagang diwajibkan untuk mempelajari hukum zakat yang berkaitan dengan perdagangan secara lebih detail. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk mempelajari hukum zakat ternak atau pertanian dengan lebih detail, karena ia tidak membutuhkan. Seorang dokter diwajibkan memperdalam hukum Islam yang berkaitan dengan profesinya; seperti larangan memberikan obat berupa khamr, larangan melakukan aborsi dan lain sebagainya. Tidak dapat tidak setiap manusia tentu memiliki kekhususan bidang dalam ritme kehidupannya. Maka diwajibkan bagi seorang Muslim untuk memperdalam hukum-hukum yang berkaitan dengan dirinya, baik itu berhubungan dengan keahlian atau tugas kesehariannya. Sehingga diharapkan setiap aktivitasnya selalu terkerangka dalam bingkai Syari’at Islam. “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl [16]: 43)
Fardhu Kifayah
Ada beberapa ilmu yang dikategorikan fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Jika salah seorang atau sejumlah orang sudah mempelajarinya, maka kewajiban bagi yang lainnya menjadi gugur. Sebaliknya, jika tidak ada seorang Muslimpun yang mempelajarinya, maka semua ikut menanggung dosanya, terutama pemerintah. allah SWT telah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At Taubah [9]: 122).
Secara dhahir, yang dimaksud fardhu kifayah di sini adalah tiap sesuatu yang dibutuhkan oleh jama’ah Muslimin dalam diennya atau dunianya dengan jalan mendalami ilmu-ilmu syara’ atau spesialis dalam ilmu-ilmu alam seperti kedokteran, teknik, olahraga, astronomi, kimia, fisika, biologi, geologi atau disiplin ilmu lainnya yang dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat di abad modern ini; baik di bidang budaya atau kemiliteran (DR. Yusuf Qardhawi, Keutamaan Ilmu Dalam Islam).
Berkata Imam Ghazali,”Ilmu-ilmu non syar’i terbagi menjadi tiga yaitu yang terpuji, yang tercela dan yang mubah. Yang terpuji adalah sesuatu yang terikat dengannya segala kemashlahatan perkara dunia, seperti kedokteran dan matematika…”.
Dari sini bisa difahami, bahwa ilmu yang dibutuhkan dalam menegakkan segala urusan dunia bernilai fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran dan matematika. Prinsip-prinsip perindustrian juga bagian dari fardhu kifayah seperti pertanian, tenun, politik bahkan jahit-menjahit. Jika semua hal ini tidak ada yang menguasainya, maka akan muncullah kecelakaan bagi mereka. Tetapi bila telah ada seseorang atau sebagian orang yang melakukannya, maka gugurlah kewajiban itu.
Ilmu Yang Tercela
Ada juga beberapa ilmu yang tercela untuk dipelajari apalagi sampai diperdalam dan diamalkan. Seperti ilmu sihir, klenik, guna-guna termasuk ke dalam ilmu-ilmu yang tercela untuk dipelajari.
Jika kita ingin selamat di dunia, harus dengan ilmu. Jika kita ingin selamat di akhirat, haruslah dengan ilmu. Jika kita ingin selamat di dunia dan akhirat, juga harus dengan ilmu. Untuk itu, mari kita gemarkan menuntut ilmu. “Barangsiapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab