Jumat, 01 Februari 2013

KEUTAMAAN ILMU

“…Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?..”
(Az Zumar [39]: 9)
Islam sangat menghargai ilmu dan ulama (ilmuwan), sehingga kedudukan ilmu dan ulama sangat tinggi dan mulia dalam parameter Islam. Allah SWT telah berfirman: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (Al Mujaadilah [58]: 11).
Rasulullah SAW juga telah mengisyaratkan: “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, niscaya ia akan diberi pengertian atau pemAahaman mengenai agama” (HR. Bukhary dan Muslim). Bahkan kedudukan seorang alim (orang yang berilmu) lebih tinggi dibandingkan kedudukan seorang ‘abid (orang yang beribadah). “Kelebihan seorang alim dari seorang ahli ibadah, seperti kelebihanku terhadap orang yang terendah di antara kamu” (HR. At Tirmidzi).
Berkata Umar RA: “Wahai manusia! Kalian wajib menuntut ilmu. Sesungguhnya Allah memiliki selendang kemuliaan. Barangsiapa mencari satu bab ilmu saja, niscaya Allah akan membalutnya dengan selendang kebesaran-Nya”.
Mu’adz bin Jabal berkata: “Belajarlah olehmu ilmu pengetahuan! Sebab, mempelajarinya karena takut kepada Allah merupakan ibadah, mempelajarinya berarti tasbih, membahasnya jihad, mengajarkannya shadaqah dan mencurahkannya kepada ahlinya merupakan qurban. Ilmu adalah teman dalam kesendirian, dalil agama dan penolong dalam suka dan duka. Ia shahabat karib di kala sepi, teman yang paling baik dan paling dekat serta ia merupakan cahaya jalan menuju surga. Dengannya Allah mengangkat martabat ummat, lalu dijadikan-Nya mereka pemimpin dalam hal kebaikan”.
Kewajiban Menuntut Ilmu
Karena kedudukan ilmu yang sedemikian tingginya, maka Islam mewajibkan ummatnya untuk mempelajari ilmu, sehingga diharapkan mereka bekerja berdasarkan ilmunya, bukan sekedar mengikuti seseorang tanpa tujuan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”(Al Israa’ [17]: 36).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam sangat memusuhi sikap-sikap taqlid, yaitu sikap mengikuti sesuatu tanpa didasarkan pada ilmu, tetapi hanya sekedar ikut-ikutan. Mereka inilah yang disebut dengan pengikut fanatik atau pengikut buta. Berkata Al Aufi tentang maksud dari ayat ini: “Janganlah engkau menuduh seseorang tentang sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan dalam hal itu”.
Sedangkan Qatadah berkata:”Janganlah engkau berkata, “Aku telah melihat padahal engkau tidak melihat, aku telah mendengar padahal engkau tidak mendengar, aku telah mengetahui padahal engkau tidak mengetahui”. Sementara Allah akan meminta pertanggungjawaban kamu tentang hal itu”.
Maka segala sesuatu yang hendak kita kerjakan, semuanya dilandaskan kepada ilmu. Bahkan memahami syahadat pun, harus dilandasi dengan ilmu.
“Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (Yang Haq) melainkan Allah…” (Muhammad [47]: 19).
Rasulullah SAW menegaskan kembali tentang wajibnya menuntut ilmu bagi setiap Muslimin dan Muslimat. Sabdanya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslimin dan muslimah”
Kedudukan Ilmu
Fardhu ‘Ain
Ada ilmu-ilmu dalam syari’at Islam yang berkedudukan fardhu ‘ain,yaitu wajib bagi setiap Muslimin dan Muslimat untuk mempelajarinya. Ilmu-ilmu yang wajib untuk dipelajari oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah ilmu-ilmu yang lazim dipergunakan untuk kepentingan diennya atau untuk dunianya.
Imam Abu Muhammad bin Hazm berkata,”Seorang Muslim dan Muslimah harus mempelajari bagimana bersuci, shalat, puasa, halal-haram mengenai makanan dan minuman, pakaian, seks, perkataan dan per- buatan. Semua ini harus dipelajari oleh setiap Muslimin dan Muslimat baik yang merdeka maupun hamba sahaya supaya mereka dapat mempraktekannya ketika sudah baligh. Ia juga harus mempelajari Bahasa Arab untuk memperbagus bacaan Al Qu’an, Hadits,bacaan-bacaan shalat, takbir, tasbih dan lain sebagaianya”. Imam Ghazali mengatakan,”Ilmu dan tujuannya terbagi menjadi dua: syar’i dan non syar’i.
Syari’ah adalah sesuatu yang diambil dari Nabi-Nabi dan akal tidak dapat menunjukkannya, tidak pula pengalaman seperti kedokteran, bahasa dan sejenisnya”.
Sehingga ilmu yang wajib diilmui oleh setiap Muslimin dan Muslimat adalah:
Ilmu untuk mengetahui aqidahnya dengan pengetahuan yang meyakinkan dan shahih, bebas dari segala bentuk syirik dan khurafat.
Ilmu untuk memperbaiki ibadahnya kepada Allah SWT secara dhahir, agar ibadah itu sesuai dengan bentuk yang disyari’atkan. Secara bathiniah dimaksudkan supaya ibadahnya sarat dengan nilai keikhlasan.
Ilmu untuk dapat membersihkan dirinya dan mensucikan hatinya dan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan “yang menyelamatkan” sekaligus mengamalkannya. Juga ilmu untuk mengetahui kerikil- kerikil “yang membahayakan” sekaligus menjauhinya.
Ilmu untuk memperbaiki perilaku dalam berhubungan dengan dirinya sendiri, keluarganya dan sesamanya. Terhadap pemerintah dan rakyat, terhadap sesama Muslim dan non Muslim. Dengan itu, ia mengetahui yang halal dan haram, yang wajib dan sunnah, yang layak dan yang tidak layak. Kewajiban mempelajari ilmu-ilmu ini merupakan batas minimal pengetahuan bagi seorang Muslim terhadap dien-nya di setiap lingkungan dan setiap keadaan. Imam Abu Muhammad bin Hazm berkata,”Jika mereka tidak mendapatkan ilmu ini di negaranya, maka dianjurkan untuk mencarinya ke luar, walaupun ke tempat yang paling jauh”. Setelah mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu itu, jika mungkin, seorang Muslim wajib juga menambah pengetahuan-pengetahuan khusus yang berkaitan dengan kondisinya atau disiplin ilmunya. Orang yang fakir, misalnya, ia tidak diwajibkan mempelajari hukum-hukum zakat secara detail, kecuali sekedar mempelajari zakat yang boleh diambilnya. Seorang pedagang diwajibkan untuk mempelajari hukum zakat yang berkaitan dengan perdagangan secara lebih detail. Tetapi ia tidak diwajibkan untuk mempelajari hukum zakat ternak atau pertanian dengan lebih detail, karena ia tidak membutuhkan. Seorang dokter diwajibkan memperdalam hukum Islam yang berkaitan dengan profesinya; seperti larangan memberikan obat berupa khamr, larangan melakukan aborsi dan lain sebagainya. Tidak dapat tidak setiap manusia tentu memiliki kekhususan bidang dalam ritme kehidupannya. Maka diwajibkan bagi seorang Muslim untuk memperdalam hukum-hukum yang berkaitan dengan dirinya, baik itu berhubungan dengan keahlian atau tugas kesehariannya. Sehingga diharapkan setiap aktivitasnya selalu terkerangka dalam bingkai Syari’at Islam. “… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl [16]: 43)
Fardhu Kifayah
Ada beberapa ilmu yang dikategorikan fardhu kifayah untuk mempelajarinya. Jika salah seorang atau sejumlah orang sudah mempelajarinya, maka kewajiban bagi yang lainnya menjadi gugur. Sebaliknya, jika tidak ada seorang Muslimpun yang mempelajarinya, maka semua ikut menanggung dosanya, terutama pemerintah. allah SWT telah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At Taubah [9]: 122).
Secara dhahir, yang dimaksud fardhu kifayah di sini adalah tiap sesuatu yang dibutuhkan oleh jama’ah Muslimin dalam diennya atau dunianya dengan jalan mendalami ilmu-ilmu syara’ atau spesialis dalam ilmu-ilmu alam seperti kedokteran, teknik, olahraga, astronomi, kimia, fisika, biologi, geologi atau disiplin ilmu lainnya yang dibutuhkan oleh kehidupan masyarakat di abad modern ini; baik di bidang budaya atau kemiliteran (DR. Yusuf Qardhawi, Keutamaan Ilmu Dalam Islam).
Berkata Imam Ghazali,”Ilmu-ilmu non syar’i terbagi menjadi tiga yaitu yang terpuji, yang tercela dan yang mubah. Yang terpuji adalah sesuatu yang terikat dengannya segala kemashlahatan perkara dunia, seperti kedokteran dan matematika…”.
Dari sini bisa difahami, bahwa ilmu yang dibutuhkan dalam menegakkan segala urusan dunia bernilai fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran dan matematika. Prinsip-prinsip perindustrian juga bagian dari fardhu kifayah seperti pertanian, tenun, politik bahkan jahit-menjahit. Jika semua hal ini tidak ada yang menguasainya, maka akan muncullah kecelakaan bagi mereka. Tetapi bila telah ada seseorang atau sebagian orang yang melakukannya, maka gugurlah kewajiban itu.
Ilmu Yang Tercela
Ada juga beberapa ilmu yang tercela untuk dipelajari apalagi sampai diperdalam dan diamalkan. Seperti ilmu sihir, klenik, guna-guna termasuk ke dalam ilmu-ilmu yang tercela untuk dipelajari.
Jika kita ingin selamat di dunia, harus dengan ilmu. Jika kita ingin selamat di akhirat, haruslah dengan ilmu. Jika kita ingin selamat di dunia dan akhirat, juga harus dengan ilmu. Untuk itu, mari kita gemarkan menuntut ilmu. “Barangsiapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab

Tidak ada komentar: