Jumat, 01 Februari 2013

KEDUDUKAN ILMU DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai RasullNya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah kurang lebih selama 23 tahun. Sebagai agama wahyu, seperti telah disebutkan berulang-ulang, komponen agama Islam adalah akidah, syari’ah, dan akhlaq yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Selain komponen utama agama islam, di dalam Al-Qur’an perkataan ilmu ( pengetahuan tentang sesuatu ) dalam berbagai bentuk disebut sebanyak 854 kali. Karena banyak dan seringnya perkataan itu disebut dalam berbagai hubungan atau konteks, dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan ilmu sangat penting dan sentra dalam agama Islam. Perkataan ‘ilm dilihat dari sudut kebahasaan bermakna penjelasan. Menurut Al-Qur’an, ilmu adalah suatu keistimewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain. Ini tercermin, seperti dalam kisah nabi Adam waktu ditanya oleh Allah tentang nama-nama benda. Adam dapat menjawab semua nama benda yang Allah tanyakan kepadanya. Dalam surat Al-Baqarah (2):38 , Allah berfirman sambil memerintahkan:“Hai Adam, beritahukan kepada mereka ( Iblis ) nama-nama benda".

BAB II
RINGKASAN MATERI

A. KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM
Jika kita berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, yang dimaksud adalah tempat akal dan wahyu dalam system agama Islam. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam Islam. Kata akal berasal dari bahasa arab al-‘aql. Artinya pikiran atau intelek ( daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan ).
Kata akal dalam bahasa arab mengandung beberapa arti. Akal dapat diartikan dengan mengerti, memahami, dan berpikir. Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya ( kekuatan, tenaga ) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan ( menjadikan tidak terwujud ) benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.
Kita tidak dapat pernah memahami islam tanpa mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa terikat dan dengan sukarela mengingatkan diri kepada Allah. Dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berbuat, memahami dan mewujudkan sesuatu. Dengan demikian , dapatlah difahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan: akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian. Namun bagaimanapun kedudukan kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam, akal tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan. Wahyu yang akan membetulkan akal atau pemikiran manusia yang nyata-nyata salah karena adanya berbagai pengaruh. Wahyu lebih dikenal dalam arti ”apa yang disampaikan Allah kepada para nabi”. Dengan demikian sabda Allah kepada orang pilihaNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman hidup. Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad tersimpan dengan baik dalam Al-Qur’an. Wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan kedudukan akal dan wahyu dalam ajaran Islam. Keduanya, akal dan wahyu merupakan saka guru dalam ajaran Islam. Dalam sistem ajaran Islam , wahyulah yang pertama dan utama, sedang akal adalah yang kedua. Al –Qur’an maupun sunah Nabi memberikan tuntunan, arah dan bimbingan dalam akal manusia. Oleh karena itu, akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang ditetapkan Allah dalam wahyu-Nya itu.

B. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM ISLAM
Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan. Sejak al-Kindi di abad ke-3 H, generasi demi generasi sarjana muda sudah dapat mencurahkan pikiran dan kemampuannya untuk mengklasifikasikan ilmu dalam Islam secara terperinci. Sebagian klasifikasi ilmu itu asli dan berpengaruh, tetapi sebagian lagi hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudian dilupakan orang. Pada massa Al-Farabi, Al-Gazali, Qutubuddin telah berhasil mengklasifikasikan ilmu Islam menjadi beberapa bagian. Ketiga tokoh tersebut adalah orang- orang pendiri terkemuka aliran intelektual dan mereka tumbuh dan berkembang dalam periode-periode penting sejarah Islam. Adapun mereka telah mengklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yakni :
1. Menurut Al-Farabi, perincian klasifikasinya yakni sebagai berikut :
a. Ilmu bahasa
b. Ilmu logika
c. Ilmu-ilmu matematis
d. Metafisika
e. Ilmu politik, ilmu Fikih dan Ilmu Kalam
Karakteristik klasifikasi Ilmu Al-Farabi adalah sebagai berikut:
1) Para pengkaji dapat memilih subyek-subyek yang benar-benar membawa manfaat bagi dirinya.
2) Memungkinkan seseorang belajar tentang hierarki ( urutan tingkat ) ilmu.
3) Memberikan sarana yang bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan secara benar.
4) Memberikan informasi kepada para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang dapat mengklaim diri ahli dalam suatu ilmu tertentu.
2. Al-Gazali mengklasifasikan ilmunya menjadi 4 yakni:
1) Ilmu-ilmu teoritis dan praktis
 Ilmu teoritis adalah ilmu yang menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui sebagaimana adanya.
 Ilmu praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia untuk memperoleh kesejahteraan di Dunia dan di Akhirat.
2) Ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai
 Ilmu yang dihadirkan adalah bersifat langsung, serta merta, suprarasional ( diatas atau diluar jangkauan akal ), intuitif ( berdasar bisikan hati ), dan kontemplatif ( bersifat renungan ). Dia biasa menyebut dengan ilmu ladunni
 Ilmu yang dicapai adalah ilmu yang dicapai oleh akal pikiran manusia ( ilmu insani ).
3) Ilmu keagamaan dan ilmu intelektual
 Ilmu keagamaan adalah ilmu-ilmu yang diperoleh dari para nabi, tidak hadir dari akal pikiran manusia biasa.
 Ilmu intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperolek melalui kemampuan intelek ( daya atau kecerdasan berpikir ).
4) Ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah
 Fardu kifayah merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah.
 Fardu kifayah lebih kepada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang bersifat mengikat komunitas ( kelompok orang ) muslim dan muslimat menjadi satu kesatuan.



3. Qutubuddin al-Syirazi menyajikan klasifikasi ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu – ilmu Filosofis ( kefilsafatan )
2) Ilmu-ilmu nonfilosofis,yakni: ilmu-ilmu religius atau termasuk dalam ajaran wahyu. Ilmu-ilmu religius dapat dibagi menjadi 2 :
a) Ilmu-ilmu naqli( keagamaan ) dan ilmu-ilmi intelektual ( aqli )
b) Klasifikasi ilmu mtentang pokok-pokok ( usul ) dan ilmu tentang cabang-cabang ( furu’)
Klasifikasi dari ke-3 tokoh tersebut terhadap ilmu pengetahuan, berpengaruh sampai kini. Di tanah air kita sering mendsengar klasifikasi ilmu dengan : ilmu agama dan ilmu umum.
Menurut Al-Qur’an ilmu dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Ilmu ladunni, yakni ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia.
2. Ilmu insani, yakni ilmu yang diperoleh karena usaha manusia.
Pembagian ilmu kedalam 2 golongan ini dilakukan karena menurut Al-Qur’an ada hal-hal yang ada tetapi tidak diketahui manusia, ada pula yang wujud yang tidak tampak. Ditegaskan dalam Al-Quran antara lain dalam firmanNya pada surat Al-Haqqah ayat 38-39 yang artinya:
“ maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan yang tidak kamu lihat.” Dari kalimat terakhir jelas bahwa obyek Ilmu ada 2 yakni : materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada yang wujud yang jangankan dilihat diketahui manusia saja tidak.
Dari kutipan-kutipan ayat-ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia hanyalah sedikit, dan telah diregaskan oleh Allah dalam firmanNya:“ kamu tidak diberi ilmu ( pengetahuan ) kecuali sedikit.”( Q.S 17 : 85 ). Walaupun sedikit namun manusia harus memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Nabi Muhammad sebagai Rasullah diperintahkan selalu berusaha dan berdo’a agar pengetahuannya bertambah. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebagaimana telah dikemukan Rasulullah dalam sebuah hadistnya :
“ Ada 2 keinginan yang tidak pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan mencari harta”.
Yang perlu diusahakan adalah mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kemaslahatan hidup, bukan untuk merusak dan membahayakan umat manusia. Pengarahnya adalah agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Disinilah letak hubungan antara agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) yang bersumber dari akal dan penalaran manusia.
C. KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU
Al-Gazali menyebut dalam klasifikasinya, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah. Ilmu fardu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagai satu kesatuan, tidak mengikat setiap anggota komunitas.
Kalau klasifikasi Al-Gazali tersebut diatas dihubungkan dengan ilmu, maka menuntut ilmu merupakan kewajiban semua umat manusia tidak memandang umur, jenis kelamin ataupun derajatnya. Sesuai dengan keadaan, bakat, dan kemampuan. Bahwa mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun di dalam al-Hadist.
Salah satu sifat Allah yang disebut dalam Al-Qur’an adalah ‘Alim yang berarti yang memiliki pengetahuan. Oleh karena itu pula memiliki pengetahuan merupakan sifat Ilahi dan mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman. Dan apabila orang yang beriman diwajibkan mewujudkan sifat-sifat Allah dalam diri mereka sendiri seperti dikatakan dalam sebuah hadist maka setiap orang berkewajiban untuk beriman kepada Allah yang menjadi sumber segala sesuatu, meneladani sifat-sifatNya dan pengetahuan, sehingga wawasan tentang Allah akan mendarah daging bagi umat manusia. Namun tidak semua sifat Allah dapat kita teladani karena keterbatasan kita menjadi umat yang telah diciptakanNya.



Pentingnya kita mempelajari dan memahami ilmu, yaitu :
1) Perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yan g tidak berilmu.
2) Hanya orang –orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran ( Q.S 39 : 9 )
3) Hanya orang yang berilmu yang mempu memahami hakikat sesuatu yang disampaikan Allah melalui perumpamaan-perumpamaan ( Q.S 29 : 43 )
4) Allah memerintahkan agar manusia berdo’a agar ilmunya bertambah.
5) Orang yang mencari ilmu berjalan dijalan Allah, telah melakukan ibadah.
Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta kewajiban mencari dan menuntut ilmu seperti disebutkan diatas, telah menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau menjadi pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan. Di masa yang akan datang kejayaan yang telah ada itu, Insyaallah akan datang kembali kalau pemeluk agama Islam menyadari makna firman allah : “kalian adalah umat terbaik yang yang dilahirkan untuk manusia, mempelajari dan mengamalkan agama Islam secara menyeluruh.
Manfaat mempelajari ilmu bagi kehidupan kita, yaitu :
1) Akan mendapatkan pahala secara terus menerus bagi yang mengajarkannya.
2) Ilmu memberikan kepada yang memiliki pengetahuan untuk membedakan apa yang terlarang dan yang tidak, menerangi jalan kesurga, kawan diwaktu sepi dan teman ketika kita kehilangan sahabat.
3) Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka, perhiasan dalam pergaulan, perisai terhadap musuh.
4) Hamba Allah mencapai kebaikan, memperolah kedudukan yang mulia, dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia, kebahagiaan akhirat.
Mencari ilmu sampai kenegeri cina, peribahasa diatas mengandung arti bahwa ilmu yang dituntut yang dicari tidak hanya ilmu agama tetapi semua ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak. Seperti dalam sabda Nabi SAW : “ barang siapa yang menginginkan kebaikan di dunia hendaklah ia mencari ilmu, barang siapa yang menginginkan kebaikan di akhirat hendaklah ia mencari ilmu dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia mencari ilmu.” . Sebab kebaikan kehidupan dunia dan di akhirat hanya dapat dicapai dengan ilmu.

D. Ilmu adalah Pemimpin Amal
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan,
“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?”
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan. Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.”
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.”
Keutamaan ilmu syar’i yang luar biasa
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini, yaitu :
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”

Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.”
Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

BAB III
PENUTUP
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.”
Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.


Daftar Pustaka



Prof.H.Mohammad Daud Ali,S.H. Pendidikan Agama Islam, Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2000

www.muslim.or.id